"Ia menyebut dirinya sebagai perokok karena keadaan, bukan pecandu rokok."
-
Itu adalah salah satu kutipan dari sebuah cerpen karangan teman saya. Yang cukup, yah...menyentil diri saya. Uhm, bagaimana mulai ceritanya ya? Ah...iya. Saya tiba-tiba ingat.
-
Saya mulai merokok sekitar "spring" 2007. Alias di bulan-bulan April-Mei-Juni 2007. Itupun sebenarnya sih atas dasar alasan klise. Biasa...stres karena dunia kerja dan dunia percintaan. Hehehe...bukan sesuatu yang patut dibanggakan sih, hanya ingin berbagai salah satu fakta tentang saya.
-
Waktu itu saya baru pindah kerja di area eks-mud mentereng di Jakarta. Sebelumnya saya bekerja di area pergajulan anak muda kala itu di Jakarta. Dari daerah TB Simatupang dan sekitarnya (lebih tepatnya Cinere) pindah ke Jl Jend Sudirman. Dari yang biasa main di Cilandak Town Square - yang tiap harinya ketemu ABG-ABG gaul di Jakarta dengan segala macam bentuk rupa, tiba-tiba musti meng-adjust penampilan ke super rapi ria dan nongkrong di Plaza Indonesia. Dari sendal jepit andalan, ke sepatu pump hitam berhak. JRENG! Jadilah saya terjiper-jiper ria berada di area eks-mud mentereng itu. Terlebih lagi adalah putaran haluan bidang kerja saya, dari asli jadi Arsitek Muda tulen yang dipecut setiap hari dan rutin pulang malam naik bis Patas menjadi Marketing Properti Bullshit yang tiap hari selalu berdandan manis dan nebeng pulang gratis sore-sore bersama ayahanda. Dari yang biasa perhitungan kalau soal makan siang (waktu masih jadi arsitek superrr kere!) sampai yang biasa makan Wendy's tiap siang (weits jangan salah! bagi saya fastfood di negara kita itu TERMASUK makanan borju!) Pergantian "musim" dari musim kering ke banjir ini mengakibatkan banyak "penambahan karakter" dalam diri saya pribadi. Dan salah satunya adalah kebiasaan untuk merokok.
-
Rokok pertama yang saya hisap itu adalah Dunhill Light, yang kotaknya berwarna biru muda. Yang kata para pecandu-pecandu rokok (saya merujuk ke teman saya ini; miss F) "kalau mau merokok, mulai dari rokok yang "mudah" dulu aja". Jadilah saya memilih rokok itu. Itupun sebenarnya bukan saya yang memilih. Waktu itu, saya ada janji bertemu teman saya; Indri, di Senayan City. Kami berdua sedang stres berat karena masalah pekerjaan dan masalah cinta. Klise, bagi kami berdua yang termasuk tidak piawai dalam berbuat nakal, berjanji untuk bertemu merokok di meja paling belakang di sebuah restoran. "Elo mau ngerokok apa Jo?" tanya Indri via telepon sebelum bertemu. Saya menjawab apa saja asal yang ringan. Ketika bertemu, Indri melempar ke saya satu kotak Dunhill Light seraya menjawab "gue pilihnya itu ya, soalnya ringan, dan ... well the blue color just fab!" Hahaha! Alasan terlalu sepele dalam memilih rokok - hanya karena ringan dan warna kotaknya. Semalaman itu, kami berdua menghabiskan satu kotak Dunhill Light. Lucu bila mengingat itu, karena Indri punya penyakit asma, dan saya sebenarnya tidak terlalu kuat dengan asap rokok. Entah kenapa - atas nama stres - semuanya tiba-tiba bisa tidak terasa. Dan itulah awalnya.
-
Sekarang, Dunhill Light itu berubah menjadi Marlboro Menthol. Entah bagaimana ceritanya, pokoknya yang saya ingat Dunhill Light itu berkembang menjadi Dunhill Light Menthol kemudian A-Mild Menthol dan berujung di Marlboro Menthol. Pada dasarnya saya menilai diri saya itu bukan seorang pecandu. Karena saya tidak pernah rela membeli satu kotak Marlboro Mnethol hanya untuk saya saja. Saya punya kebiasaan untuk nebeng sama teman saya yang cukup lihai merokoknya (kembali merujuk ke miss F!) Plus saya merokok itu hanya setelah makan, saya sanggup habiskan 2 batang saja. Dan itupun tidak selalu sehabis makan. Hanya saat makan siang saja. Dan entah kenapa, di akhir pekan saya jarang sekali merokok. Selain karena saya tidak mau merokok di rumah, atau bersama pacar, yah hitung-hitung untuk melonggarkan jantung saya lah. Akhir pekan buat saya dan akhir pekan buat jantung saya. Tapi kalau saya sedang benar-benar stres berat, saya bisa sanggup habiskan 5 batang rokok. Yah mungkin gak "segitu hardcore"nya ya. Cuma untuk tampang saya yang sering menipu ini, itu sudah cukup mengagetkan. Intinya, saya benar-benar merokok hanya karena keadaan. Dan saya cukup bersyukur bisa mengontrol keinginan merokok ini. Karena saya masih percaya merokok itu kebiasaan buruk. Walau jujur, saya suka sekali bau asap rokok waktu pacar saya sedang merokok. Hehehe.
-
© frettyaulia, 24.04.2008
0 c o m m e n t s:
Post a Comment