June 25, 2008

awalan panggilan "Bejo!"

Bejo. Itu panggilan yang telah menempel pada diri saya sejak saya berumur 13 tahun. Banyak sekali teman-teman saya yang selalu bertanya kenapa saya dipanggil Bejo. Karena untuk nama seindah Fretty Carolina Aulia, bisa pindah stir ke nama sesederhana seperti Bejo. Ibu saya selalu merasa keberatan kalau ada yang memanggil Bejo - atau ada yang menelpon ke rumah mencari Bejo. Lebih takjub lagi di usia saya yang setua ini, masih ada yang memanggil saya Bejo. Banyak yang mengira saya dipanggil Bejo karena saya suka bengong jorok. Yang akhir-akhir ini saya iyakan saja. Ada beberapa yang bilang Bejo artinya beruntung. Mungkin iya mungkin tidak. Tapi sesungguhnya si Bejo lahir bukan karena kedua alasan itu.

Saya tidak ingat persisnya kapan, tapi semua itu bermula ketika saya berteman dengan salah satu anak baru di SMP saya belajar. Imas, si anak baru, pindahan dari Semarang. Yang kebetulan rumahnya waktu itu berada di belakang rumah saya.

Saya selalu sulit untuk berteman. Tidak bisa dilabel sebagai seorang yang anti sosial karena saya juga punya beberapa teman dekat. Tapi dilabel sebagai seseorang yang "easy going" juga tidak cocok karena saya tidak semudah itu menghancurkan dinding pribadi saya. Lebih tepatnya mungkin saya cenderung "people pleaser" karena ada keinginan dalam diri yang ingin selalu bisa diterima semua pihak. Yang merupakan salah satu alasan si Bejo lahir ke dunia.

Imas, si anak baru adalah salah satu mahluk gaul di SMP saya kala itu. Entah bagaimana caranya, si anak baru ini bisa menguasai pergaulan seantero kelas 2 di SMP saya. Tidak ada yang kenal Imas, dan tidak ada yang Imas tidak kenal. Mungkin karena perawakannya yang lucu dan menyenangkan sehingga tak ada yang tidak suka Imas. Termasuk saya.

Sejak kelas 1, saya termasuk anak sekolah yang sedikit kutu buku. Saya bendahara kelas, saya rajin mengerjakan PR, tingkat bahasa Inggris saya waktu itu termasuk luar biasa sehingga guru bahasa Inggris saya kewalahan dengan jumlah kosa kata yang saya punyai cukup banyak untuk ukuran anak kelas 1 SMP. Intinya saya anak yang terlalu baik, pulang sekolah langsung pulang. Kerjakan PR dan pergi les Organ. Saya tak punya teman dekat yang bisa saya hubungi setiap waktu dikala saya sedang senang atau sedih. Saya punya teman, tapi hanya sekedar itu saja. Intinya terdapat keinginan dari diri saya untuk mempunyai teman dekat. Lalu tiba-tiba entah darimana Tuhan menjadikan Imas sebagai salah satu teman dekat saya.

Ternyata Imas yang gaul ini, adalah anak yang super pandai dan super briliant di sekolah saya waktu itu. Kecepatan dia mengerti pola alur soal matematika dan fisika cukup membuat semua orang minder. Dan bahasa Inggrisnya yang tidak bisa dibilang katro. Teori saya tentang anak gaul bukan anak pandai hancur seketika waktu itu. Dan terlebih hipotesa sementara saya soal anak gaul adalah anak yang sombong juga tidak bisa dibuktikan hasilnya. Mungkin Tuhan sedikit muak dengan tingkat keanalisaan saya itu, sehingga Ia memberi bukti bahwa ada ternyata manusia berkelas seperti Imas di dunia ini.

Suatu siang, di kelas olahraga ketika siswa-siswa laki-laki sibuk bermain basket; saya, Imas dan satu teman kami sedang berbincang-bincang. Teman kami ini mempunyai aksen Jawa yang sangat kental. Lalu saya bertanya "kenapa sih aksen elo ketara banget?". Ia menjawab "aku dulu pernah sekolah di Jawa". Dan ia menambahkan "dulu dipanggil Bejo gara-gara itu". Spontan saya menjawab "Bejo? lucu banget!". Imas terkejut dan berkata "Oke mulai sekarang elo gue panggil Bejo ya?". Saya tersenyum dan menjawab "OK!".

Lalu dalam waktu setengah hari, hampir seluruh kelas 2, memanggil saya Bejo. Dan dalam waktu satu bulan, saya menjadi mahluk gaul di SMP saya.

Imas tak lama tinggal di Jakarta. Karena setahun kemudian dia kembali pindah keluar kota bersamaan dengan ayahnya dipindahtugaskan. Saya merasa kehilangan salah satu teman dekat saya waktu itu. Saya merasa bersyukur bisa bertemu beliau, karena benar-benar nama Bejo itu selalu menghancurkan es di awal-awal perkenalan. Berkat Bejo, saya jadi mulai mudah bersosialisasi. Walau itu tidak berarti saya selalu sulit bersosialisai, tapi si Bejo memudahkan banyak jalan itu. Dan Bejo bahkan kadang menyelamatkan rasa tidak nyaman saya terhadap beberapa orang. Saya sudah lama tidak bertemu Imas, terakhir kami bertemu ketika saya berada di bangku SMA. Sudah banyak yang berubah dari diri saya waktu itu, dan banyak yang tidak berubah dari diri Imas. Sehingga pertemuan kita waktu itu sedikit kaku. Jujur saya sebenarnya saat itu merasa tersanjung karena Imas sebegitu ngototnya ingin bertemu saya (menurut pengakuan salah satu teman saya). Mungkin saya waktu itu merasa minder karena Imas telah menerbangkan sayap kepandaiannya itu. Dan saya (merasa) masih tersangkut dengan kemampuan saya yang begitu-begitu saja. Jika saya bertemu dia kembali, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih. Dan betapa beruntungnya saya melahirkan si Bejo. I owe you big, Mas. (aduh saya jadi ingin menangis...)

© frettyaulia, 25.06.08

June 18, 2008

standing applause - it's not us?

Selasa kemarin, saya; pacar dan salah satu temannya menyempatkan diri untuk mengedukasi diri menikmati pertunjukkan Sirkus Kontemporer yang diadakan CCF di Graha Bakti Budaya, TIM. Sirkus ini merupakan perpaduan duet pemain akrobat pada tiang dengan seorang musisi. Tiket seharga Rp 50,000 ini sungguh cukup sebanding dengan satu jam yang saya dapatkan. Karena menurut saya pribadi, pertunjukan ini benar-benar memberikan sedikit kejutan. Walau jujur, sebelum acara dimulai ada sedikit sentilan pribadi yang mengakibatkan saya sempat menjadi malas untuk menikmati acara. Tetapi permainan cahaya, musik, dan akrobatisme telah membuai saya sehingga lupa dengan sentilan itu. Bagi saya dalam pertunjukan ini terjadi pengolahan ruang-waktu, ruang maya-ruang nyata, vertikal-horizontal, visual-audio digarap dengan sebegitu sederhana namun menakjubkan. Selama satu jam itu, jujur rasanya saya menahan nafas dan sakit perut yang menggeliat. Bukan apa-apa, saya MINDER berat melihat kekreatifan kedua seniman ini. Dan kesederhanaan yang ditampilkan. Buat saya, membuat karya yang sederhana itu jauh lebih rumit daripada membuat karya yang rumit. Ada tingkat kesulitan yang besar untuk bisa menghadirkan sebuah kesederhanaan bagi semua penikmat dengan berbagai macam latar belakang. Dan kedua seniman ini juga berhasil memadukannya dalam garapan yang apik. Mungkin bisa saya tambahkan juga komplimen kepada sang seniman dibalik permainan cahaya yang begitu dramatis dan artistik. Wah intinya, saya benar-benar menikmati satu jam itu. Hanya saja, ketika acara selesai, tak satupun manusia bersedia memberikan standing applause kepada mereka. Saya sempat berbisik ke telinga pacar saya "eng kok ga ada yang berdiri ya?" Dan beliau membalas "iya kayaknya mereka nungguin itu tuh". Dia pun menambahkan "tapi itu bukan budaya kita". Lucu kalau diingat, karena acara juga dihadiri manusia-manusia lidah Perancis yang pastinya mengenal budaya standing applause. Jadi sepertinya pertunjukan itu tidak berkelas A+ untuk mendapatkan standing applause. Sehingga mungkin rasanya saya yang musti diedukasi lebih, untuk tidak terlalu katro dalam menilai. Hehe...

©frettyaulia, 18.06.2008

June 12, 2008

quote of the day

"Mankind, probably the most mysterious species on our planet. A mystery of open questions. Who are we? Where do we come from? Where are we going? How do we know what we believe to know? Why do we believe anything at all? Innumerable questions looking for an answer, an answer which will raise the next question and the following answer will raise a following question and so on and so forth. But in the end, isn't it always the same question and always the same answer?"*
At the end, I might have questioned the same question and received answers the same answers.
*Lolarennt - Run Lola Run