March 26, 2008

[...]

i hope this is the last.
no more ends.

March 25, 2008

ini karma apa bukan ya?

Waduh. Ada cerita yang mungkin menarik buat saya bagi di blog ini. Saya mau berbagi sesuatu yang berhubungan dengan karma. Saya tidak tahu apa itu arti karma. Yang saya mengerti selama ini pengertian soal karma adalah what you throw is what you gonna get. Jadi kalau saya melempar batu ke seseorang, yah suatu hari nanti ada seseorang yang akan melempar batu itu kembali. Atau kalau saya dilempar batu, pasti suatu hari nanti orang yang melempar batu akan dilempari batu yang sama. Kira-kira seperti itulah konsep saya soal karma. Kalau saya salah, tolong dikoreksi ya.

Kira-kira diawal tahun 2006, pacar atau ttm saya waktu itu memutuskan hubungan secara tiba-tiba. Tidak kira-kira, dia memutuskan saya di hari ulang tahun saya. Sebenarnya mungkin kalau ditelaah kembali, waktu itu saya dan dia memang sedang berada di mood yang kacau. Sehingga keputusan untuk putus mungkin bisa datang karena impuls saja. Karena saya merasa seperti itu, saya berusaha menghubungi dia dan "try to patch things up". Tetapi berulang kali saya coba hubungi via telpon, via e-mail, via temannya, semua seakan tidak digubris. Bahkan saya berbicara lewat karya-karya fotografi saya (yah yang sangat amatiran itu) kepada beliau, untuk menarik secuil simpati. Tetapi sungguh, saya merasa saya hanya sekedar semut kecil. Sebagai semut kecil, saya merasa sangat suicidal. Waktu itu tiba-tiba saya punya kekuatan untuk mengakhiri hidup saya. Saya mulai tidak punya nafsu makan, rambut saya mulai rontok, dan saya malasnya minta ampun untuk kerja. Saya mulai suka menangis dipagi hari sebelum kerja, dan sesudah kerja. Saya suka terbangun jam 3 pagi hanya untuk melihat plafond diatas tempat tidur saya. Dan saya benar-benar tidak punya rasa apapun untuk yang namanya mahluk pria. Halah! Klise memang, tapi ini salah satu pelajaran hidup yang saya treasure sekarang.

Satu hal yang mungkin bisa saya bagi sekarang, konyolnya bila diingat lagi, dia memutuskan saya karena memang bagi dia saya ini cuma selingkuhan saja. Saya berikan segalanya yang ternyata selama itu dia telah menduakan cinta saya. Dan yang lebih bodohnya, kata putus itu terlontar dari dia dan bukan saya. Dan lebih lebih bodohnya, yang mengejar untuk kembali bersama adalah saya. Gila betul ya, saya memang bodoh sekali waktu itu.

Setelah setahun lebih saya menjadi monster pembenci hidup dan pria, saya akhirnya menjadi lebih kuat dan sinis melihat cinta. Saya mulai menjadi sarkastis melihat segala aspek. Walau sebenarnya saya masih percaya dengan mukjizat cinta. Dan memang, Tuhan menekan tombol “percaya cinta” kembali dalam diri saya. Sehingga saya bisa berdiri dan mencintai kembali seseorang.

Tiba-tiba, jreng jreng, si lelaki brengsek mengirim e-mail yang isinya ingin kembali bersama dengan saya. Waduh! Dengan kata-kata “Tidak ada wanita yang se-passionate, sebaik dan se-setia seperti kamu” dia berusaha mendapatkan saya kembali. Waktu saya baca itu, saya tertawa. Bahagia rasanya karena sudah impas sekarang. Sakit yang saya lalui dulu dibayar lunas dengan keinginan dia untuk kembali. Waktu membaca e-mail itu, saya ingin sekali menulis “Kemana aja lo nyet? Sekarang aja elo nyari-nyari gue. Bah, basi kau!”. Tetapi saya cuma menjawab “Sorry, I am in a committed relationship now. And I think I don’t have to tell you in details about my life.” Haduh saat membaca kembali balasan saya itu, saya merasa menjadi manusia paling keren di dunia. Dan seakan merasa sangat malu, si lelaki brengsek itu pun menjawab “Beruntung sekali pria itu.” Cuma urat malunya bertahan sebentar, karena beberapa kali dia berusaha menghubungi. Semakin dia menghubungi, semakin impas rasanya bagi saya. Saya menemukan kesenangan tersendiri untuk menganggap dia tidak ada, sama seperti dulu dia tidak menganggap saya ada.

Ah Tuhan itu maha adil bukan begitu? Sesakitnya mungkin luka yang saya hadapi dulu, ternyata Tuhan tidak menutup mataNya. Dan itu dibayar lunas dengan hukuman yang Tuhan berikan kepada si lelaki brengsek itu. Seperti kata teman baik saya “Girl, it is his lost if he treated you so bad.” Itu menjadi derita dia karena telah kehilangan saya.

Karma atau bukan mungkin saya tidak tahu. Yang pasti kisah ini selalu menjadi pembatas buku bagi saya untuk mengingatkan saya bahwa Tuhan itu maha adil. Atau seperti kata seseorang; ada sebab dan ada akibat. Apa yang kamu tanam itu yang kamu tuai.

© frettyaulia, 25.03.2008

March 24, 2008

sudut sudut kamar mandi

Ketika saya sedang stress atau banyak pikiran tidak menentu bertengger di kepala, saya selalu bersembunyi di kamar mandi. Sejak masih abg, saya akan lama sekali berjongkok di atas toilet. Walau waktu itu saya belum merokok dan walaupun mungkin saya tidak sedang buang air besar , tapi saya menemukan kenyamanan berjongkok lama di atas toilet. Kebiasaan itu semakin menjadi-jadi, sejak rumah saya direnovasi dan toilet jongkok berubah menjadi toilet duduk. Dari kamar mandi yang kecil dengan ubin keramik warna biru gelap berubah menjadi kamar mandi seluas kurang-lebih 3m2 dengan keramik warna krim susu yang permukaannya seperti batu alam. Mungkin karena luas, warna kamar mandi baru ini, membuat saya suka menyikat kamar mandi ini. Sehingga dari yang suka berjongkok lama-lama ketika stress, saya punya outlet baru.

Sambil mendengarkan lagu yang saya pasang melalui radio yang saya bawa ke kamar mandi, atau handphone saya (yang akhir-akhir ini sering melantunkan lagu-lagu mas-mas Radiohead) saya pasti akan menyikat kamar mandi kalau saya sedang kalut berat. Atau duduk diatas wastafel yang tepat didepannya ada cermin besar sambil merokok sebatang. Atau yang ekstrim, ngejogrok dibawah deras shower sambil mencuri-curi merokok. Lucu saya tiba-tiba ingat, kadang saya juga sok-sokan jadi superstar kalau tidak ada rokok atau kamar mandi habis disikat pembantu. Saya akan lari kesana kemari, lompat tinggi-tinggi, dan teriak-teriak seperti habis kemalingan – yah biasalah.. “ngarep” jadi bintang.

Biasanya setelah menyikat kamar mandi, atau duduk diatas wastafel dan merokok atau terjangkit sindrom superstar, barulah saya menghampiri keran shower saya untuk mandi. Dan biasanya kacamata saya itu masih “on” didepan mata. Sehingga tidak sekali dua kali, saya mendapati diri saya masih memakai kacamata dibawah aliran shower. Dan dikala saya sadar, kacamata saya itu membuat saya tertawa. Atau setidaknya tersenyum. Walau hanya untuk sesaat, saya lega bisa lepas dari pikiran-pikiran saya yang tidak menentu.

Jadi kalau mau tahu isi pikiran saya yang tidak menentu, resapi saja kamar mandi saya. Seandainya Tuhan mengizinkan sudut-sudut itu berbicara sekehendak mereka, mereka pasti akan berbicara banyak hal. Dari yang memalukan, sampai yang menitikan air mata.

© frettyaulia, 24.03.2008

mica tanto

you led me to believe yet you broke your own words.
so i gather up the pieces of little holes that i thought i would never have.
i am back at the similar crossroad i used to face.

mi fa insospettire quando tu dici bugie.
mi fa male.
non ne voglio piu'.
non ne posso piu'.

© frettyaulia, 24.03.2008

March 18, 2008

(buka kacamata anda saat membaca ini)

Minggu kemarin, saat berada didalam gereja, saya mendapati diri saya bertanya dalam hati pertanyaan mendasar soal iman saya. Soal apa yang tidak saya lihat namun saya percaya. Saya sedari kecil adalah penganut Kristen. Terus terang, saya pernah mengalami gejolak mengapa saya ada disini sebagai Kristen, apakah hanya karena "meneruskan" apa yang orang tua saya yakini. Saya dulu meyakini gejolak itu sudah berakhir dengan cara pandang saya yang baru. Lalu tiba-tiba saya mendapati saya berada dalam gejolak itu kembali. Saya mempertanyakan siapa itu Tuhan. Kadang saya mendapati hati dan akal budi saya berbenturan saat mendalami siapa itu Tuhan. Ada dimensi soal Tuhan yang saya tidak mengerti. Ada yang bilang logika manusia tak akan pernah sama dengan logika Tuhan. Maksudnya dimensi Tuhan yang Maha Agung, tak akan pernah sama dengan dimensi manusia. Ada peraturan yang hanya berlaku untuk Tuhan dan tak bisa di-adjust untuk manusia. Kalau kasarnya; "otaknya manusia kagak nyampe brai!". Yang saya menjadi tidak mengerti lalu apa fungsi akal budi yang Tuhan berikan kepada saya kalau ternyata ada dimensi yang ditakdirkan tidak akan bisa saya mengerti? Dulu waktu saya kecil, saya tak punya banyak teman, saya termasuk loner. Dan dalam kesendirian saya bermain, sering terlintas dikepala saya mengapa saya lahir sebagai manusia dengan akal budi. Kenapa saya lahir sebagai manusia yang kompleks. Kenapa bukan menjadi anjing kecil yang lucu, yang kerjanya cuma bermain, dibelai sayang oleh pemiliknya dan tak akan pernah pusing soal besok ke kantor naik apa. Bukannya saya menghina Tuhan, saya hanya bertanya. Saya bukan manusia religius, yang kuat tahan godaan. Saya masih sangat berdosa (banget). Tapi saat saya berdoa, ada rasa malu yang tidak bisa saya tutupi. Malu karena dengan dosa saya, saya masih berani meminta. Mungkin saat ini juga saya malu, karena saya menyuarakan pertanyaan saya secara berani soal iman saya kepada Tuhan. Namun biarkanlah ini menjadi sebuah sharing. Dan saya harap anda tidak menghakimi saya hanya karena saya bertanya atau hanya karena saya bingung.
© frettyaulia, 18.03.2008

March 17, 2008

You knew this story already, boy.

Let me tell you about the tale of my heart.
I guess I will never know precisely when it was here.
If one guesses since I was born, my heart was there already before.
Funny though, I can not even describe the size, the shape and even the smell.
I can only feel it.
It feels like a thundering storm in late midnight when it is mad.
It feels like a hot breezy summer day when it is happy.
It feels like digging the earth to place your dead body when it is broken.
It feels like a blank erased page when it is empty.
It feels like a roller coaster when it is in love.

My heart is like a secret garden that has a gate.
There is a peep-hole right in front of it if anyone cares to see.
However, sometimes I shut it so I can choose who I want to be seen.
The gate is so tall, that the knob is not easy for anyone to reach.
It is so heavy to swing, to let anyone remember how hard it is to be inside.
But it is not made of iron, where anyone can leave marks and erase it later.
There lie holes that took time to be patched with new memories.
Sometimes they are just numb to even feel the worst pain.
But sometimes those patches would go broken, and I have to re-patch it again.
And what that happens, I would just paint on my heart a new hope to crave.
So that maybe those holes will be like an artistic addition to it.
So that there would be a reason for them to be there.

The thing about my heart, it can be as hard and layered like a diamond.
But it can be as fragile and seen-through like a glass.
So then I only give the key to enter to the ones I need.


Ah the key..

There are some that have it without me even give it.
They just had the key even before I have the power to give them.
I don't have the ability to reject or take my key from them.
Because they are the ones that clinging into my blood.
My family has been inside and playing with my heart.
And I can only let them be, even if sometimes they play with it like a toy.

There are also some that I have the power to choose.
To give my key to the people that matter the most.
I have the right to take back my key when they used me.
Some best friends, that stabbed me from behind no longer had the key.
Some ex-lovers had their name engraved and couldn't be erased, they may have lost the key or simply I took back what's left of me from them.

Most of them don't care enough to come back and knock on my gate.
Yet there are some that took the courage to come back.
Sometimes I would let them stay for a night or two.
It is hard to let them stay forever, because it is the price they have to pay.
They forced me to create boundaries.
But their echoes stay.
Even if those echoes at some nights might turn to hauling wolfs.

And that's the price I have to pay, to enjoy every seconds of those screaming voices.

The ones that stay, and will always be, called themselves true friends.
Even at the worst pain, the worst time, the worst nightmare, they still hang on tight inside.
They preciously make everything precious.
They know how to value every little thing to its right measure.
And I let them stay, even if sometimes they would slap me to wake me up.

Ah but you knew this story already, boy.
Because you have been inside for sometime.
Yet yesterday you put a new hole on the gate.
And played with my heart without realizing the cause of it.
It turned out sometimes you can be such a fool.
Maybe I should have written a manual book of my heart so you'd know.
But you should have known.
You have got this far, you should know it by now.

© frettyaulia, 17.03.2008



March 14, 2008

the sparrow

In addition (and inspired) by one of my usual babblings with a friend of mine, I eagerly want to share some thoughts of a film I recently seen; La Môme (shown as La Vie En Rose in Britain and the United States). This is a wonderful film that taught me of the life of one of great music legends in the world; Édith Piaf. The signature singer of La Vie En Rose.
An only 147 cm woman who caught so many ears and eyes through-out her life. That's how she got the name; Piaf; Francilien colloquialism for sparrow - the name that she received years later. She was born Édith Giovanna Gassion in Belleville, Paris, the high immigration district. Both of her parents had a little knack (imho) for art. Her mother was an Italian-Algerian who was working as a cafe singer. Her father was working as a street acrobat who had a past working at the theatre. Later both of them abandoned her, and that leaded her to stay with her maternal grandmother for a while. Before the World War I where her father enlisted in, he took her to stay with his mother who ran a brothel in Normandy. Those prostitutes helped to raise her. And one of them was like a mother to her.
It was told that Édith had keratitis, that made her allegedly blind for some years in her childhood life. It was told in one of her biographies that one of the prostitutes of her grandmother's brothel that was closed to her, pooled money to send her on a pilgrimage honoring Saint Thérèse de Lisieux. After being send to the pilgrimage, she was miraculous healed. On which in the film, later it was portrayed that whenever she countered with problems, she would pray to Saint Thérèse de Lisieux. I find it very inspiring, because inside a very passionate soul, lied a fragile character.
After living with her grandmother in the brothel, her father came back from war. And he took her back to live in Paris. Where she would go with him to his street acrobat performances. There was one time where one of his father audiences asked for what she would do. And that was the first time she sang in public. In that film, it was told that the first she sang in public, she sang one of the legendary French March songs. Later on she began to work as a street singer in the streets of Paris suburbs. Her friend joined her, Simone Berteaut ("Mômone") in this endeavor, and the two became lifelong partners in mischief. On one of her usual street sing performances, she has stolen the heart of a nightclub owner Louis Leplée, whose club Le Gerny off the Champs Élysées was frequented by the upper and lower classes of Paris. He taught her the basic of stage presences and told her to wear black dress which later became her trademark, and also he was the one who named her Piaf or La Môme Piaf (The Little Sparrow, based on her small figure and her voice strength). For moments later, Papa Leplée, that was the name she called him with, murdered by the mobsters. Because of this she received many negative media attention. And so to rejuvenate her image with the help of Raymond Asso, whom she would also become romantically involved. She then changed her stage name from La Môme Piaf to Edith Piaf. From the help of Asso, she became even more successful and world-wide-well known. Her first come-back performance was enchanting for me to see. Her very small figure, and her distinctive voice really stole back the hearts of many Parisians. If I were living in that era and in Paris, without a doubt I would be one of her biggest fans.
But it is too bad that the film; La Môme, didn't tell much about her love life. It didn't tell me in details of the first relationship she had with a man that eventually became the father of her daughter; Marcelle, who died of meningitis at such a young age. Like her mother who was also street singer - the first scene of the film was opened with her mother singing in the streets and abandoned her - Piaf abandoned her child. She often left her child uncare. And although it was briefly displayed, I know by heart of how disappointed she was of leaving her child behind. It was ironic though, that her daughter's name was also the name of one of her most intimate lover. It was told from the film (although I am not quite sure if that's true or just a myth) that the song La Vie En Rose was like a song of Piaf with Marcel Cerdan. Because there was a scene in the film where Piaf sang that song in New York for Cerdan. And when Cerdan, the married world boxing champion returned to Paris, they greeted him with that song. So their affair made to international headlines. It was because of his death (imho) that she really hit rock bottom in romance. He died on a plane crash from Paris to New York in order for him to meet her. The scene in the film when her friends broke the news of his death to her was just sad. And Marion Cotillard (who won the Academy Award for Best Actress for portraying Piaf) was brilliant. That scene honestly took my breath away. It was one of the scenes I learned that Piaf was a very passionate person. And often misunderstood.
As I googled her more, I found out that she has been married twice, and the husband that was told on the film was her second husband. It was him who took her to rehab for drug (morphine) and alcohol addiction. Yeah well from the start, her life was really a "rock and roll" one. With all the non-stop boozes. I love to drink, but sad for me I get drunk far more too easily (hence my user-name). I pictured myself if I were living her life, I would be so drunk that maybe I would skip a lot of after parties!. But anyway, the fact that she used alcohol to run from her trouble was such a cliche one. And that was one of the reason for me to "label" her as passionate. Because sometimes when we are too passionate about something that we love so much, we are in a fragile state and that is going to be too easy to do something crazy (but hey, this is just me, don't mind me babbling :P). But one of the facts that made her addicted to morphine was she had car-accident that broke her arm and ribs. Two more near-fatal car crashes exacerbated the situation.
On 1963, Piaf died of liver cancer. I didn't know this fact if I weren't googling her so. It was told that she died on the French Riviera. And that her second husband secretly carried her body to Paris so that her fans would think she died in her hometown. On the film I never knew where she died, I knew that she died with the company of her nurse while she reminisced back her life and her daughter.
Her last performance on the film was when she was singing her very famous song; Non, je ne regrette rien in the Paris Olympia concert hall. Her last recorded song was L'homme de Berlin.
I really love this film, basically because I love to know history behind great legends. And I learned a lot from it. Most is that even such a tragic life she had, Piaf had no regrets. Like her song lyrics;

No! No regrets
No! I will have no regrets
All the things that went wrong
For at last I have learned to be strong
No! No regrets
No! I will have no regrets
For the grief doesn't last
It is gone
I've forgotten the past
And the memories I had
I no longer desire
Both the good and the bad
I have flung in a fire
And I feel in my heart
That the seed has been sown
It is something quite new
It's like nothing I've known
No! No regrets
No! I will have no regrets
For the seed that is new
It's the love that is growing for you


© frettyaulia, 14.03.2008
*summarized from wikipedia also.

March 13, 2008

help!

Ini entry singkat yang intinya cuma ingin minta bantuan. Tolong! Saya gak pedean nih!
Dulu saya mengira mungkin karena saya sedikit terlalu sempurnaisme, alias perfeksionis. Tapi ah kayaknya kok gak mungkin, karena saya bisa jadi orang yang sangat pemalas. Makanya lalu saya menyimpulkan kalau bukan karena saya yang sempurnaisme lalu saya punya masalah ketidakpedean ini. Tapi simply karena saya benar-benar gak pede! Gimana dong?! Mau dipermak dengan segala macam brand baju terkenal, make-up bagus, atau gaya rambut oke, tapi kalau memang tidak pede, yah tidak pede saja. Konyolnya saya bisa cukup mencintai diri sendiri dengan tingkat kenarsisan saya. Jadi sedikit agak gila mungkin sistem yang berlaku didalam diri saya. Ketidakpedean saya itu sudah menetap cukup lama, walau ibu narsis bisa mampir dan kalau dia mampir bisa nginepnya lama banget. Bisa sampai bertahun-tahun. Ironis banget tapi bagaimana memaksa ketidakpedean itu segera check-out dari diri? Benar-benar menyusahkan sekali soalnya! Help!

March 12, 2008

belajar menerima

Kata seorang artis inspirasional;
I believe in fate. I believe that everything happens for a reason, but I think it's important to seek out that reason - that's how you learn.

Baru-baru ini saya belajar ternyata ada alasan untuk pencarian saya yang berujung ke pantai sepi dengan lautan biru. Alias, tidak ada alasan untuk pencarian itu. Alias, yah memang harus begitu. Alias, there is no other way. Mungkin itu menjadi alasan saya mencari pencarian itu. Supaya saya bisa belajar bahwa ada beberapa pencarian dalam dunia ini yang tidak mempunyai alasan. Dan belajar untuk menerima bahwa pada dasarnya tidak ada alasan yang signifikan untuk beberapa hal adalah sesuatu yang baru untuk saya.

© frettyaulia, 12.03.2008

simply ribet!

Kata seorang pendeta, agaknya sulit bagi orang pandai untuk menerima konsep yang dianggap logika tidak masuk akal atau keluar dari jalur yang "seharusnya". Contoh; bagi orang pandai, 1+1 = 2. Dan agak sulit bagi mereka untuk menerima bahwa 1+1 = 1, atau 1+1 = 3. Mungkin bagi pendeta saya, konsep "pandai" dalam kata "orang pandai" yang ia gunakan merujuk pada kepandaian atas dasar pengetahuan yang diajarkan atau pengetahuan secara matematis. Pengetahuan yang sangat universal yang bahasanya memang sudah saklek. Sehingga 1+1 akan selalu sama dengan 2. Dan ketika ada pilihan bahwa 1+1 bisa sama dengan 3, sulit untuk diterima. Sehingga pendeta saya pun dengan sinisnya berkata bahwa hanya orang bodoh bisa sangat terbuka pikirannya. Karena menurut beliau, sistem logika mereka yang dibiarkan terbuka. Atau secara sederhana karena mereka tidak tahu banyak hal. Yah, memang kalau terlalu banyak tahu akibatnya bisa fatal.

Perkataan pendeta saya ini cukup membuat saya tertawa. Sinisnya karena perkataan beliau betul. Saya ingat, dulu saya pernah menulis panjang lebar mengapa saya punya kecenderungan mempersulit masalah. Dari terminologi Pak Pendeta, saya jadi terpancing untuk membuat klasifikasi saya sendiri. Bahwa ada orang pandai, dan ada orang yang terbuka. Bukan orang pandai dan orang bodoh. Karena bagi saya karakter kebodohan itu milik mereka yang tidak peduli dan ignorant dengan apapun yang terjadi. Sementara orang terbuka, mereka yang terlalu peduli, terlalu ingin tahu, terlalu terbuka, dan terlalu bisa untuk melihat semua hal dari dua sisi yang berbeda. Orang terbuka belum tentu pandai, tapi orang pandai pasti bukan orang terbuka. Karena orang pandai mempunyai kecenderungan mempermudah masalah. Dan orang terbuka, bagi saya mempunyai nama lain; yaitu orang ribet! Tunggu jangan bantah dulu, ini hanyalah teori saya. Yang berlaku cuma buat saya saja kok.

Anyway, menurut saya orang terbuka, alias orang ribet, alias kompleks, alias "misunderstood", adalah orang-orang yang berani melompat ke berbagai sisi yang berbeda yang sering membuat mereka sendiri bingung. Karena keterbukaan mereka untuk melihat kesegala hal, untuk mempelajari ini dan itu, dan ketertarikan mereka untuk selalu peduli. Tidak bertanya, katanya, pasti akan sesat dijalan. Ah siapa sangka kalau di era sebebas dan seliberal sekarang, ternyata banyak bertanya pun bisa tersesat dijalan. Karena banyak pilihan yang terletak diatas meja, membuat kita menjadi bingung mau memilih yang mana. Sama seperti kalau saya pergi ke Bali. Terlalu banyak hasil kerajinan tangan yang sangat menawan dihati, sehingga ketika ingin membeli jadi bingung mau pilih yang mana. Dan sulit bagi saya, untuk tidak membeli semuanya. Yang akibatnya, uang jadi kandas padahal baru satu hari jalan. Sama mungkin dengan terlalu banyak tahu, atau terlalu liberal, jadinya otaknya jadi kandas. Alias kecapekan. Bahkan lebih gilanya, tidak cuma otak yang kandas, tapi hati terasa lebih sempit. Karena galerinya dan perpustakaannya sudah kepenuhan! Yang bukan masalah dijadikan masalah, simply ribet jadinya!

Lalu bagaimana dong? Kalau kata seseorang ke saya, layaknya mungkin dibutuhkan sebuah filter. Jadi sisi mana yang tidak perlu dilihat atau dikaji, ya dibuang saja. Dan sisi yang perlu dilihat harus dikaji dalam-dalam. Tidak semua nasehat yang masuk itu bisa sesuai dengan apa yang kita percayai. Dan tidak semua kejadian itu menjadi sebuah pertanda bagi kehidupan kita. Dan terutama, tidak semua orang yang harus kita puaskan hatinya. Harus selalu ada pro dan kontra. Dibutuhkan keberanian untuk bisa men-delete sisi-sisi yang tidak diperlukan. Walau terasa sulit sekali melakukan itu. Curiganya itu terasa sulit karena kita terlalu menilai semua hal berharga, sampai ke hal-hal printilan, sehingga rasanya sulit untuk menilai mana yang berharga dan tidak. Karena kacamatanya 3D, pandangan pun jadinya kabur. Sesekali, rasanya perlu melihat banyak hal dari kacamata 2D. Bukan berarti jadinya saklek terhadap semua kemungkinan yang ada. Yah intinya, harus bisa menjadi idealis yang pragmatis. Ya gak?

(hum…kelamaan menulis subjek ini, bisa-bisa saya jadi ribet juga! Karena tergiur untuk bicara lebih banyak lagi…tuh kan belum apa-apa sudah kambuh ribetnya!)

© frettyaulia, 12.03.2008

March 10, 2008

macet, naik ojek, capek deh!

Haduh haduh Jakarta itu memang biangnya macet. Gila bener! Keblenger saya dijalan Senin pagi hari ini. Di jalan baru terusan Casablanca, mulai Cawang sampai Tebet, yang saya lihat cuma lautan mobil yang semuanya diam ditempat. Sama sekali tidak bergerak. Se-1-cm pun tidak. Saya yang tadinya enak-enakan tidur dimobil, jadi panik karena mau sampai kantor jam berapa kalau begini ceritanya?! Akhirnya saya ambil inisiatif untuk berhenti didepan kompleks perumahan Gudang Peluru, berjalan dengan ayah saya sampai stasiun kereta api Tebet lalu naik ojek. Nego sana sini, akhirnya saya harus membayar Rp 25,000 dari Tebet sampai Sudirman. Ah gila betul, sama seperti naik taksi tarif baru saja. Tapi apa mau dikata, wong macet gila begini. Saat jalan dengan pak ojek, saya baru tahu kalau kemacetan itu sudah bermula dari pukul 6 pagi. Waktu saya tahu ternyata kemacetan itu sudah terjadi dari jam 6 pagi, ada rasa sedikit lega. Setidaknya saya yang berangkat siang dengan yang berangkat pagi sampai ditujuan diwaktu yang sama. Untung di saya karena sempat berleha-leha dulu diatas kasur yang empuk. Lalu ditengah-tengah lalu-lalang lalu lintas (banyak sekali kata lalu-nya) tiba-tiba saya teringat oleh berita di radio yang saya dengar tadi di mobil, kalau jalan tol dari Slipi ditutup. Pantas saja akhirnya sepanjang jalan baru terusan Casablanca ini juga ikut-ikutan macet. Bayangkan satu jalan lalu lintas ditutup, semua lalu lintas akhirnya kacau balau. Aparat yang keparat!
Ah tapi itu belum seberapa keparatnya dibanding perbincangan saya dengan tukang ojek. Bapak ojek ini, tiba-tiba bertanya soal pacar saya! Saya kaget berat waktu dia bertanya soal itu. Lebih kaget lagi ketika dia dengan seenaknya menilai saya hanya dari penampilan muka saya. Saya tidak tahu darimana datangnya perkataan kalau muka kecil pasti muka kolokan dan manja. Dan saya pun tidak mengerti bagaimana pula bapak ojek ini menilai muka saya itu muka kecil. Wong dia saja baru melihat saya pagi itu, dan bagaimana mungkin dia bisa mengobservasi muka saya dan mengelompokan muka saya sebagai muka yang kecil! Dari bertanya soal pacar ke muka kecil, saya tidak menemukan juntrungannya, maka saya bertanya apa maksud bapak ini untuk menilai saya sekenanya lalu tiba-tiba bertanya soal pacar saya. Ternyata dia mau tahu jenis muka pacar saya dan kecocokannya dengan saya. Walah! Buat apa coba dia mau tahu? Memangnya dia wali saya nanti? Lagian darimana datangnya hak pak ojek ini untuk menilai saya dan pacar saya? Haduh haduh, memang benar the old saying itu; tak kenal maka tak sayang. Jadilah sepanjang perjalanan itu saya jadi mutung berat karena kesoktahuan pak ojek. Bahkan pas turun dari motornya, saya langsung bayar dan malas untuk tersenyum manis.
Sigh..
Untungnya, ditengah-tengah kemacetan lalu lintas dan pak ojek yang sotoy, tiba-tiba ada telpon masuk dari pacar. Ah...senangnya...
© frettyaulia, 10.03.2008

March 8, 2008

melangkah [untuk kita]


Jinjit jinjit
Pelan pelan
Tapi pasti
Maju maju
frettyaulia, 08.03.2008

*image by valkirye


i love you period.



Of terms and conditions.
Here I am, nervously assuming what are they.
But I have one assumption that closest to the truth.
If that's true, it is going to be harder.
Sigh...all I know is that
I love you.period.

On which I feel, that is more than enough.
frettyaulia, 08.03.2008

*image by IMustBeDead

March 6, 2008

pecahkan saja gelasnya biar ramai!


Sungguh gak penting. Bukannya kerja malah bikinin blog buat teman dan akhirnya berujung ngalor ngidul ke blognya teman yang lain. Halah. Selamat datang di dunia hari terakhir kerja di akhir minggu ini yang notabene panjang bet! Tetapi setelah membaca salah satu entry di blog teman, dan setelah mengobrol gak jelas dengan salah satu teman kuliah saya, eh terbersit untuk menulis entry baru soal masalah segan dan tidak segan berbicara apa adanya.

Salah satu teman saya lagi ribut soal menikah. Ada yang bilang mau menikah kok repot? Menurut saya lah memang repot! Sekali seumur hidup brai!. Dan semua tetek bengek soal "diakah soulmateku" bukanlah masalah sepele. Buat saya masalah menikah itu benar-benar akan menjadi awal kisah hidup saya nanti. Dan tentu itu juga berlaku bagi teman saya ini. Apalagi kami berdua mahluk perempuan yang sudah diujung umur 20an, yang teman-teman lainnya sudah menikah, yang selalu disetiap acara keluarga selalu digeber dengan pertanyaan yang sama; "kapan nikah?" Woi BASI! Sekali-sekali diganti kek pertanyaan. But anyway back to her issue; teman saya ini rada bingung dengan pacarnya sekarang ini. Dia dengan pd-nya ngajak pacarnya nikah. Lebih pd-nya lewat sms pula! Aih dasar wanita gila! Dan ujung-ujungnya pacarnya belum bisa memberikan sebuah "perwakilan" atas kejelasan soal pernikahan itu. Dan itu membuat teman saya ber-gimana dong frettt?! Saya jadi merasa kalau kadang dalam keadaan terjepit, semua manusia jadi tidak tahu musti bagaimana berbicara dan merespon terhadap banyak hal. Yah saya juga begitu, walah apalagi saya. Untuk orang yang sangat penting bagi hidup saya, baik keluarga - sahabat dekat - pacar, saya selalu menjaga perasaan mereka banget. Bahkan kadang saya bisa dengan baik menjaga perasaan mereka dengan mengorbankan perasaan saya sendiri. Saya kutip dari kata pacar saya; "sometimes you are a fake." (weits tajam banget). Yah dia ada benarnya, karena merasa terobligasi menjaga perasaan semua orang, saya ujung-ujungnya berbohong pada diri saya sendiri. Dan berbohong pada diri sendiri itu = munafik. Dan munafik = dosa. Ah memalukan bagi saya yang selalu gembar gembor soal "tak bisa berbohong pada diri sendiri" tapi ternyata secara sadar telah berbohong pada diri sendiri. Sigh...

Setelah saya berbicara dengan teman saya itu, tiba-tiba saya membaca entry blog teman saya yang lain. Dan disitu saya membaca soal kepelikan dia dalam menghadapi semua masalahnya sampai-sampai tidak bisa merespon secara layak atas perasaan dia yang sebenarnya. Saat membaca itu, tiba-tiba saya teringat salah satu lagu favorit saya; Smells Like Teen Spirit. Yang nota bene isinya soal denial - penyangkalan. Memang kadang berbohong untuk kebaikan bisa ditolerir. Dan menyangkal kalau kita baik-baik saja padahal kita lagi sakit hati banget bisa membantu. Ibarat salah satu episode Greys Anatomy yang bercerita tentang seorang dokter anestesi yang senang minum-minum kala kerja - oh well anything that gets through the day. Tetapi entah bagaimana, disaat menulis soal itu, saya tiba-tiba ingat salah satu adegan di film Ada Apa Dengan Cinta (ya saya memang segitunya sama film!). Ketika Mba Dian disitu membacakan puisi di tengah-tengah cafe di sebuah malam didepan lelaki yang ia diam-diam sukai itu. Ada tertulis disitu; "Pecahkan saja gelasnya biar ramai!" Iya, pecahkan saja! Kenapa musti kita menjadi takut untuk bicara apa adanya? Tentu kita adalah manusia-manusia dewasa, yang bukan anak kecil lagi. Tata cara kita berbicara dan menyampaikannya juga harus dengan toto kromonya toh. Tapi itu bukan berarti kita menahan semuanya. Aih gila, kita kan bukan malaikat!. Beranikan untuk berbicara ala kadarnya. Hati pun menjadi lega dan otak pun menjadi lebih gak parno-an.

Saya tahu saya bukan orang yang tepat untuk berbicara bijak, sudah terlalu banyak keparnoan yang ada di otak, dan kadang bukannya melegakan hati saya justru menumpuk-numpuk hal gak penting di hati. Tetapi mungkin anda – para pembaca setia – bisa turut membantu saya menjadi bijak. Di hati terutama.

© frettyaulia, 06.03.2008
*image from

March 5, 2008

the studio that cracks me

my neighbor totoro
Last weekend, I went to me and my boyfriend's fav place for hang out. Well actually it is his fav place. As usual we ran into DVD's booths place. We both have a knack for it. I was not looking for another additional DVDs, since I have more than 5 DVDs that I need to see. So I just accompanied him. Until I got myself deserted on the "Animation" rack. I thought "hey it has been awhile I don't let myself dig in this rack!" So I dig. And I found myself remembering those times when I watched my most fav animated film ever. And so happened that I found my boyfriend picked that DVD from all those racks. He took out "My Neighbor Totoro". He could read my mind, I thought. Yes dear, I have been a fan for Studio Ghibli's works. My first acquintance was "Princess Mononoke". Back in my college years. The reason was simple, Gillian Anderson was one of the actresses. Yes yes..."The X Files" was one of my fav TV shows. And so then, from the first meeting, basically Hayao Miyazaki had me at hello. From then on, I have seen some from many of his works. And it brought the little girl in me out. And seeing my boyfriend took that DVD out, it brought me to see "My Neighbor Totoro" again yesterday.

Ah I miss you, my little girl in me. Maybe it is time for you to haunt me again. So I can relax my late20s side away.

(c) frettyaulia, 05.03.2008

tentang mantan

Akhir-akhir ini rasanya saya selalu dikelilingi oleh persoalan tentang mantan. You know, the ex of our opposite sex. Si manusia yang dulu pernah melingkupi kehidupan kita. Atau mereka yang pernah pacar kita cintai. Ironis sekali bagi saya karena kejadian yang menyangkut masalah mantan ini bisa terjadi beruntun dalam kehidupan saya. Dan lebih anehnya, teman-teman terdekat saya ternyata juga dikelilingi hidupnya oleh masalah mantan. Cerita-cerita mereka yang sedikit banyak mempengaruhi kisah saya dengan yang namanya mantan ini adalah inti dari entry blog ini.

Adalah salah satu teman lama saya dulu di bangku kuliah, yang pertama kali menyentuh saya akhir-akhir ini soal masalah mantan. Tentunya bukan mantan saya, tetapi mantannya. Yah, pembicaraan dia yang begitu menggelitik bagi saya untuk menulik semua kisah-kisahnya dengan mantannya itu sungguh bisa dijadikan sebuah cerita roman drama serial TV. Bagaimana tidak, seperti yang ia katakan; "I had been with a depressing lover too", telah berhasil membuat saya berhenti dan bertanya banyak soal itu. Mungkin saya berlebihan juga sih, tetapi bagaikan "it was meant to happen" kisahnya telah mengajarkan saya satu dan dua hal. Bahwa kesabaran dan ke"ulet"an itu salah satu kunci berhasilnya sebuah hubungan. Waduh, saya mungkin bisa ulet, tapi untuk sabar..saya memang harus belajar banyak.

Adalah salah satu teman lama saya di padepokan kost saya sewaktu kuliah, sebagai yang kedua menyentuh saya. Mbak yang satu ini pernah terlibat sebuah cinta yang banyak mengubah dirinya secara keseluruhan. Dan itu mempengaruhi cara dia memandang kisah cinta yang ia sedang jalani. Bukan untuk mengumbar inti kisah beliau ini (bisa-bisa saya dihajar habis-habisan oleh beliau!), tapi singkat kata dia tidak mau berada disebuah hubungan hanya karena terbiasa dan hanya karena impulsif. Terbiasa dan kompulsif adalah dua hal yang sangat berbeda. Bayangkan bila kita berada dalam sebuah kisah cinta selama lebih dari 5 tahun. Mungkin kita akan mendapati diri kita bertanya apakah kita menetap dalam hubungan itu karena cinta atau karena terbiasa. Kontradiktif dari itu, bila kita bertemu seseorang yang segitu mudahnya membuat kita "head over heels" dalam waktu sehari, apakah itu terlalu impulsif. Kedua hal ini menjadi sebuah pergolakan besar bagi teman saya. Selain kedua hal itu darinya saya belajar bahwa komunikasi itu segalanya. Setiap manusia mempunyai perbedaan dalam berpersepsi. Cara pandang kita dalam melihat sebuah masalah pasti berbeda-beda. Dan mengkomunikasikan itu membutuhkan lebih dari sekedar waktu. Pengertian dan kemampuan untuk benar-benar "mendengar" bukan hanya menyediakan kuping saja adalah salah satu kuncinya. Terbiasa atau impulsif, cara saya berkomunikasi dan cara saya untuk benar benar mendengar memang perlu diasah.

Lalu adalah teman sekantor saya yang menjadi orang ketiga yang memberikan masukan tentang apa yang dinamakan mantan. Waktu itu, di hari Valentine, dimana semua orang sedang merasakan pipi mereka berseri-seri mendapatkan hadiah manis Valentine, saya dan teman kantor saya mendapati diri kami berkeluh karenanya. Yah, saya juga tidak memaksa sih, tapi apa daya punya pacar yang sibuk sekali dengan pekerjaannya. Dan teman saya, yang sudah menikah ini, menerima hadiah manis dari mantan dan bukan dari suami. Bagi saya mungkin sedikit tidak etis (atau mungkin karena saya mempunyai pengertian yang terlalu saklek soal kesetiaan). Tetapi ini membuat saya bertanya, kemana perginya segala macam roman dan drama dalam sebuah hubungan. Apakah itu memang hanya berlaku di awal-awal hubungan? Bukankah sebaiknya itu selalu ada sampai maut memisahkan? (yah maafkan cara pandang saya yang terlalu putih ini..)

Puncak dari lautan mantan ini adalah sebuah kejadian yang cukup menampar ruang hati saya. Mantan dari pacar saya (bukan mantan pacar saya loh) tiba-tiba kembali meramaikan hidup pacar saya. Wah rasanya gila betul! Waktu benar-benar mengetahuinya langsung dari mulut pacar saya, hati saya benar-benar panas. Saya baru mengetahui ternyata kata ungkapan "hati saya panas" bukan sekedar kiasan. Dan bukan tersirat saja. Karena secara fisik, secara biologis, hati saya benar-benar panas. Cemburu, iya banget. Tetapi cemburu untuk masa lalu. Yang secara sehat akal dan sehat hati, bukanlah sesuatu yang seharusnya perlu untuk dirisaukan. Tapi yah yang namanya manusia, bagaimana bisa saya bersikap baik-baik saja. Munafik banget kaliii jatuhnya. Hari itu, oleh karena marah - sedih dan cemburu, terucap dari bibir saya; I so do not like that bitch!. Yah bukan sesuatu yang patut dibanggakan, dan patut ditulis panjang lebar di blog. Tapi hal memalukan ini cukup mengajarkan saya sebuah harga yang penting. Bahwa "I believe in you" bukan hanya di bibir saja. Saya yang katanya percaya pada pacar saya, seharusnya memang percaya padanya. Kepercayaan sudah diberi. Jangan ditarik lagi hanya karena kita ragu. Di saat ini saya baru benar-benar mengerti arti kiasan "to let go". Menyerahkan kepercayaan bukan lagi untuk dipertanyakan dilain hari. Menyerahkan kepercayaan memang benar-benar percaya. Tentu saja ini bukan berarti kita tidak aktif dan menjadi pasif, seperti kata salah satu teman baik saya.

"It takes two to tango" Kata standard yang artinya lebih dari standard.

Ah...memang aneh bila saya ingat kembali mengapa semua hal ini bisa terjadi beruntun. Tapi saya belajar bahwa masa lalu, beserta antek-anteknya, akan selalu hadir dalam kehidupan kita yang sekarang. Begitu juga yang sekarang akan meramaikan kehidupan yang akan datang.

I t ' s u n a v o i d a b l e.

Ibarat kita meminta pelangi, yah harus ada hujan dulu dan segala gemuruh petirnya. Ada yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu yang kita perjuangkan. Dan dalam kisah klasik percintaan siapapun di dunia ini, tentang mantan termasuk didalamnya. Tergantung dari bagaimana cara kita dan partner kita menyingkapinya.

© frettyaulia, 05.03.2008