April 24, 2008

perokok karena keadaan

"Ia menyebut dirinya sebagai perokok karena keadaan, bukan pecandu rokok."
-
Itu adalah salah satu kutipan dari sebuah cerpen karangan teman saya. Yang cukup, yah...menyentil diri saya. Uhm, bagaimana mulai ceritanya ya? Ah...iya. Saya tiba-tiba ingat.
-
Saya mulai merokok sekitar "spring" 2007. Alias di bulan-bulan April-Mei-Juni 2007. Itupun sebenarnya sih atas dasar alasan klise. Biasa...stres karena dunia kerja dan dunia percintaan. Hehehe...bukan sesuatu yang patut dibanggakan sih, hanya ingin berbagai salah satu fakta tentang saya.
-
Waktu itu saya baru pindah kerja di area eks-mud mentereng di Jakarta. Sebelumnya saya bekerja di area pergajulan anak muda kala itu di Jakarta. Dari daerah TB Simatupang dan sekitarnya (lebih tepatnya Cinere) pindah ke Jl Jend Sudirman. Dari yang biasa main di Cilandak Town Square - yang tiap harinya ketemu ABG-ABG gaul di Jakarta dengan segala macam bentuk rupa, tiba-tiba musti meng-adjust penampilan ke super rapi ria dan nongkrong di Plaza Indonesia. Dari sendal jepit andalan, ke sepatu pump hitam berhak. JRENG! Jadilah saya terjiper-jiper ria berada di area eks-mud mentereng itu. Terlebih lagi adalah putaran haluan bidang kerja saya, dari asli jadi Arsitek Muda tulen yang dipecut setiap hari dan rutin pulang malam naik bis Patas menjadi Marketing Properti Bullshit yang tiap hari selalu berdandan manis dan nebeng pulang gratis sore-sore bersama ayahanda. Dari yang biasa perhitungan kalau soal makan siang (waktu masih jadi arsitek superrr kere!) sampai yang biasa makan Wendy's tiap siang (weits jangan salah! bagi saya fastfood di negara kita itu TERMASUK makanan borju!) Pergantian "musim" dari musim kering ke banjir ini mengakibatkan banyak "penambahan karakter" dalam diri saya pribadi. Dan salah satunya adalah kebiasaan untuk merokok.
-
Rokok pertama yang saya hisap itu adalah Dunhill Light, yang kotaknya berwarna biru muda. Yang kata para pecandu-pecandu rokok (saya merujuk ke teman saya ini; miss F) "kalau mau merokok, mulai dari rokok yang "mudah" dulu aja". Jadilah saya memilih rokok itu. Itupun sebenarnya bukan saya yang memilih. Waktu itu, saya ada janji bertemu teman saya; Indri, di Senayan City. Kami berdua sedang stres berat karena masalah pekerjaan dan masalah cinta. Klise, bagi kami berdua yang termasuk tidak piawai dalam berbuat nakal, berjanji untuk bertemu merokok di meja paling belakang di sebuah restoran. "Elo mau ngerokok apa Jo?" tanya Indri via telepon sebelum bertemu. Saya menjawab apa saja asal yang ringan. Ketika bertemu, Indri melempar ke saya satu kotak Dunhill Light seraya menjawab "gue pilihnya itu ya, soalnya ringan, dan ... well the blue color just fab!" Hahaha! Alasan terlalu sepele dalam memilih rokok - hanya karena ringan dan warna kotaknya. Semalaman itu, kami berdua menghabiskan satu kotak Dunhill Light. Lucu bila mengingat itu, karena Indri punya penyakit asma, dan saya sebenarnya tidak terlalu kuat dengan asap rokok. Entah kenapa - atas nama stres - semuanya tiba-tiba bisa tidak terasa. Dan itulah awalnya.
-
Sekarang, Dunhill Light itu berubah menjadi Marlboro Menthol. Entah bagaimana ceritanya, pokoknya yang saya ingat Dunhill Light itu berkembang menjadi Dunhill Light Menthol kemudian A-Mild Menthol dan berujung di Marlboro Menthol. Pada dasarnya saya menilai diri saya itu bukan seorang pecandu. Karena saya tidak pernah rela membeli satu kotak Marlboro Mnethol hanya untuk saya saja. Saya punya kebiasaan untuk nebeng sama teman saya yang cukup lihai merokoknya (kembali merujuk ke miss F!) Plus saya merokok itu hanya setelah makan, saya sanggup habiskan 2 batang saja. Dan itupun tidak selalu sehabis makan. Hanya saat makan siang saja. Dan entah kenapa, di akhir pekan saya jarang sekali merokok. Selain karena saya tidak mau merokok di rumah, atau bersama pacar, yah hitung-hitung untuk melonggarkan jantung saya lah. Akhir pekan buat saya dan akhir pekan buat jantung saya. Tapi kalau saya sedang benar-benar stres berat, saya bisa sanggup habiskan 5 batang rokok. Yah mungkin gak "segitu hardcore"nya ya. Cuma untuk tampang saya yang sering menipu ini, itu sudah cukup mengagetkan. Intinya, saya benar-benar merokok hanya karena keadaan. Dan saya cukup bersyukur bisa mengontrol keinginan merokok ini. Karena saya masih percaya merokok itu kebiasaan buruk. Walau jujur, saya suka sekali bau asap rokok waktu pacar saya sedang merokok. Hehehe.
-
© frettyaulia, 24.04.2008

April 23, 2008

wasn't born to be good in confrontation

Itulah saya. Benar-benar bukan orang yang terlahir pandai berbicara DALAM sebuah konfrontasi. Yang anehnya, menurut mitos, orang batak harusnya jago bersilat lidah. Sebagai orang batak, yang nyeleneh, saya tidak percaya bahwa ada karakter tertentu yang dibawa ras tertentu. Walau saya mengakui umumnya orang batak itu pekerja hukum, jago mempermainkan fakta. Mungkin seperti kenyataan kalau umumnya orang yahudi itu pandai dan luar biasa inovatif - Spielberg salah satu contoh besarnya, atau Leibovitz. Kembali ke orang batak, tapi seperti yang dikutip dari pacar saya, saya ternyata bisa pandai dalam mempresentasikan fakta. Tapi menurut saya itu bila saya tidak dalam sebuah situasi yang panas. Kalau dalam situasi yang panas, penuh konfrontasi, saya menjadi sulit untuk "membela diri" atau menceritakan versi saya. Seperti baru-baru ini. Saya mempunyai masalah "kecil" dengan salah satu klien saya. Kesalahan ada dipihak beliau, tapi justru saya yang ditekan dan tidak bisa "membela" diri saya sendiri. Yang akibatnya, saya pun berbicara "a-i-u-e-o" di depan beliau. Uhm ... sungguh aneh, mengingat menurut kebanyakan teman dekat saya, saya termasuk orang yang galak dan teguh dalam pendirian. Tapi ternyata, saya telah berkembang menjadi orang yang terlalu mudah melihat segala hal dalam berbagai sisi. Sehingga lupa dengan pendapat saya sendiri. Tingkat saya untuk berkompromi telah berubah - karena belajar bahwa tidak semua orang bisa se-idealis atau se-pemimpi saya. Ugh. Bagaimana ini?
-
© frettyaulia, 23.04.2008

April 21, 2008

watchout - blind dates!

Iyes! Blind date itu sudah menjadi momok yang "gimana gitu" buat para kalangan jomblo-jomblo. Saya yang sudah tidak available saja bisa kebelit sama masalah itu. (Ya gak miss E?). Ada beberapa kasus yang saya secara rela masuk kedalamnya. Misal kenal lewat internet. Itukan memang otomatis saya menjadi sukarela dalam proses blind date itu. Ada juga yang dikenalkan oleh teman, yang untungnya tidak pernah terjadi (atau setidaknya yang saya ketahui ya). Dan yang terakhir kalau orang tua atau pihak keluarga mulai ikut campur. Saya tidak menyalahkan oknum tertentu sih, memang dasarnya orang tua saja yang tidak puas dengan pilihan anak mereka sendiri. Mereka secara sadar dan tidak sadar tahu bahwa ujung-ujungnya mereka tidak akan pernah memaksakan pilihan mereka kepada anak sendiri. Karena, toh yang menjalani kan bukan mereka. Cuma ya itu ... tidak ada di dunia ini orang tua yang gak "gatel" atau "bawel" (curiganya sih, ada kemungkinan saya juga begitu..)
-
Pengalaman saya dengan blind date itu bisa dihitung dengan satu tangan. Karena saya benar-benar tidak menyukai berada didalam kondisi dimana saya tidak mengetahui siapa lawan bicara saya (uhm semua orang juga begitu kan?). Tapi mari kita telusuri memori-memori berkesan itu.
-
Pengalaman blind date saya pertama kali semasa setelah saya putus dari hubungan 5 tahun dengan seseorang. Waduh saat itu lumayan hardcore deh sedihnya. Saya pun berkenalan dengan seseorang yang saat saya temui memang benar-benar keren! Itu pertama kalinya saya blind date dan berkesan buat saya ingat. Karena sangking kerennya mas Yohan ini (hehehe), semua orang yang berpapasan dengan kami langsung menengok. Untungnya saya bisa mengimbangi (setidaknya gaya dandan saya waktu itu tidak kampungan banget). Tapi dari awal saya tidak mempunyai ketertarikan yang lebih dari sekedar teman. Karena walau mas Yohan ini keren, pandai, secara fisik menarik - tidak ada yang klik dengan isi hati dan kepala saya. Jadi mas Yohan waktu itu hanya cukup memuaskan keinginan mata saya. Dan kami saat itu menghabiskan waktu dari pukul 10.00 sampai dengan 18.00! Dari makan siang, ngopi sore sampai malamnya nonton di Teater Jakarta. Agak gila sih, karena saya bukan tipe orang yang bisa langsung nyambung. Kembali ke penampilan mas Yohan yang keren itu, saya jadi lupa waktu!
-
Pengalaman kedua adalah ketika saya bertemu dengan teman internet saya dari Italia. Heleh! Dengar darimana dia berasal, pasti sudah punya banyak bayangan di kepala. Yang ini dan yang itu. Plus ditambah sudah main flirt-flirtan lewat internet. Makin jadi ingin bertemu bukan? Tapi JRENG! Mas Italia ini cuma keren karena dia berasal dari Italia saja! Mungkin saya salah bertemu mas Italia kali ya. Karena bayangan saya itu setidaknya Totti atau Maldini. Tapi saya bertemu versi mininya. Alias (maaf) tidak terlalu tinggi. Jujur orangnya menyenangkan untuk diajak berbincang-bincang seputar bahasa Italia (yang saat itu saya sedang pelajari), tapi untuk masalah hobi - kami berdua benar-benar tidak cocok. Walau begitu saya menghabiskan waktu yang cukup lama dari mulai makan malam sampai menikmati Jl Sudirman tengah malam berjalan kaki. Positifnya setidaknya saya mempunyai kenalan asli dari Eropa sana (selain guru-guru les Italia saya).
-
Pengalaman ketiga adalah pengalaman paling berkesan buat saya. Karena ini berujung dengan cinta! (hehehe...) Saya berkenalan dengan seseorang lewat internet. Yang bagi saya, diantara hubungan internet yang pernah saya jalani (dan ini bukan yang pertama saya jalani), ini pertama kalinya saya bisa langsung nyambung dari sekali chatting. Dari mulai melihat-lihat profil friendster beliau, kirim pesan basa-basi, sampai bertukar yahoo id. Menurut saya, saya itu termasuk orang yang sulit untuk bisa dekat dengan seseorang apalagi lewat internet apalagi waktu pertama kali chatting (karena kan chatting itu kan responnya langsung kan..). Mungkin karena saya dan beliau punya banyak kesamaan, dan ada beberapa fakta beliau yang cukup menohok saya. Lalu setelah kurang lebih dua mingguan chatting, diputuskan deh untuk bertemu. Saya dengan beraninya mengajak bertemu dirumah saya! Yah kalau saya tidak suka kan jadinya aman, gak repot-repot bayar ongkos taksi pulang. Plus kalau ternyata orangnya membahayakan ada satpam yang bisa langsung saya telpon buat ngusir. Ternyata ketika bertemu (sigh...) berujung di keadaan saya sekarang. Teman-teman saya kalau bertanya soal awal hubungan saya dengan beliau, selalu geleng-geleng kepala. Karena semua teman saya jarang mempunyai hubungan cinta berawal dari internet (kecuali, uhm, anda miss E - yang dasarnya emang "berani". Dan anda, Spooky - ingat kan si Mariana Renata look alike itu?). Seperti kata teman saya di awal hubungan saya ini - "there are a lot of crazy people out there Fret! aren't you afraid of that?". Dengan entengnya saya cuma bilang - "well...gue juga gila kok. Jadi sama dong!"
-
Pengalaman keempat yang sekaligus paling terbaru dan yang saya harap terakhir itu baru saja terjadi jumat kemarin. Atas paksaan ibu dan tante saya, yang tidak puas atas pilihan saya sekarang. Berat banget untuk melakukan ini. Karena saya sudah berada di suatu hubungan yang menurut saya tidak main-main. Dan saya benar-benar tidak enak dengan situasi yang serba salah buat semua pihak. Semua orang bisa bilang "Fret ketemu ajalah, buat jaga-jaga". Tapi sampai detik ini saya benar-benar tidak setuju dengan kata "buat jaga-jaga". Buat jaga-jaga apa? Dan untuk apa? Kesannya kok seperti mendoakan hubungan saya dengan yang sekarang ini berakhir makanya ada jaga-jaga. Karena hubungan antara dua orang itu bukan seperti memasak nasi, atau membeli gas buat masak. Tidak ada yang namanya "jaga-jaga". Atau "just incase". Saya jujur penganut setia monogami, yang menurut saya setianya saya dengan filosofi monogami itu sudah yang sangat hardcore dan literal. Mungkin makanya setiap kali saya berhubungan, dan ketika akhirnya kandas, saya pasti butuh setidaknya setahun untuk bisa benar-benar "move-on". Agak rapuh sih, tapi this is me. Dan se-naif-nya saya dalam berhubungan, saya tetap meyakini begitu. Karena saya yakin, sakitnya saya nanti pada akhirnya akan dibayar lunas. Dan Tuhan melihat kok.
Namun karena untuk menghormati keinginan ibu saya, saya pun bertemu. Respon saya waktu bertemu adalah mentertawakan hal itu. Seperti nasehat teman saya, miss E, untuk mentertawakan saja hal konyol itu. Setelah berjabat tangan, langsung saya bilang blak-blakan kalau saya "sudah ada yang punya". Tidak tahu dapat kekuatan darimana, saya langsung tembak bilang kalau pertemuan ini hanya untuk menghormati niat baik ibu saya. Untungnya respon dari orang itu tenang dan sepertinya sudah bisa menduga. Oh well bagus deh. Soalnya saya tidak berminat mencari masalah. Setelah itu, saya bisa tenang. Walau jujur, saya tidak menyukai waktu yang saya habiskan. Dan terpaksa mau diantar pulang. It was weird, and the hell with it - it's done!
-
Intinya...blind dates are not that easy to understand. Dan pastinya akan ada ketidaknyamanan. Tapi ketidaknyamanan itu bervariasi, dari yang menyenangkan sampai yang menjemukan. Walau sedikit pengalaman (dan berharap tidak ditambah lagi!) - saya merasakan itu semua. Saat mengalaminya mungkin benar-benar bisa membuat kita tidak jelas. Tapi kala dikenang, rasanya bisa membuat kita tertawa. Ya gak?
-
© frettyaulia, 21.04.2008

April 17, 2008

Tentang Tereza

Kemarin salah satu teman saya merekomendasikan buku. Judulnya The Unbearable Lightness of Being buah karya Milan Kundera. Saya sudah familiar dengan judul itu, karena dulu waktu saya lagi demen-demennya nonton Friends, ada salah satu episode dimana mereka membicarakan judul itu. Hanya saja, waktu itu yang saya tangkap dari episode itu, judul itu adalah judul film dan sama sekali tidak tahu menahu kalau film itu adalah berdasarkan bukunya. Dan ketika tahu inti cerita buku itu, membuat saya merasa pening sendiri. Karena saya tiba-tiba merasa dekat dengan salah satu karakter dalam cerita itu. Singkat kata, ada 4 karakater yang menyala-nyala dalam cerita itu. Ada Tomas, seorang dokter. Istrinya, Tereza si ibu fotografer. Sabina - wanita simpanan Tomas yang adalah seorang pelukis dan pacarnya; Franz seorang profesor. Tomas diceritakan mencintai Tereza yang akhirnya ia putuskan untuk nikahi walau ia tetap berhubungan dengan wanita simpanannya; Sabina yang notabene menjalin hubungan dengan Franz. Saya entah kenapa merasa dekat dengan karakter Tereza. Dikatakan bahwa Tereza sama sekali tidak menganggap infidelitas Tomas sebagai sesuatu yang penting sehingga ia merasa dirinya lebih lemah dari Tomas. Teresa yang pandai dan compassionate menghadirkan sesuatu yang mendalam bagi Tomas yang tidak bisa ia acuhkan. Tereza selalu merasa hanyalah sebuah tubuh yang digunakan Tomas sehingga saat menjelang akhir hayat hidupnya ia merasa bahwa dirinya hanyalah sebuah beban bagi Tomas. Tomas memang pada awalnya menganggap Tereza sebuah beban, seorang anak yang harus ia rawat. Namun seiring jalannya waktu, ia kemudian melepas teori lamanya soal cinta dan memperkaya cintanya terhadap Tereza. Tomas mempunyai teori soal cinta yang ia yakini sebelumnya bahwa cinta dan seks adalah dua hal yang berbeda. Ia bisa bercinta dengan banyak wanita dan sekaligus hanya mencintai satu wanita. Dan ia tak menemukan itu sebagai suatu masalah. Baginya mendalami seorang wanita hanya bisa melewati proses love-making. Yang bagi Tereza adalah suatu yang mustahil bagi ia bercinta tanpa mencintai. Sigh..cukup berat memang - yang kemudian membuat saya tidak begitu tertarik untuk membeli dan membaca buku ini. Hanya lewat me-google itu, sudah cukup bagi saya. Karena begitu mengetahui siapa itu Tereza, sudah bisa membuat saya sedikit terharu dan sakit. Saya rasa, tak ada wanita dimanapun yang bersedia di"madu". Dan lebih makin sakit untuk mengetahui di"madu" hanya karena alasan birahi saja.
-
Inilah pembicaraan sore itu dengan teman saya, yang berujung panjang pada simpati saya terhadap Tereza.
-
-
anda : eh baca buku unbearable lightness of being deh
anda : gw baru baca lagi
anda : damn that book is so good and sexy
lia : duh gue belum baca or nonton
lia : ceritanya seputar apa sih bok?
anda : tentang mencintai dan dicintai
anda : tapi perspektifnya dia unik
anda : ada beberapa karakter
anda : semuanya berhubungan
lia : ahhhh kinda like crash dong
anda : itu sih sebenernya filosofi kundera tentang memandang cinta dan hidup
anda : apaan tu crash
lia : filosofi kundera? uhm baru denger gue
lia : itu film crash
lia : kan karakternya beda2 gitu
lia : tapi intinya sama
lia : kinda like babel juga
anda : kundera itu nama yang nulis
anda : hmm..gak kayak babel
lia : yes gue baru google dia
lia : Eroticism is like a dance: one always leads the other. Milan Kundera
anda : wekekekeke
anda : hubungan antar karakter adalah hubungan cinta dan kontradiksi
anda : lucu banget,dia ampe bikin kamus 'kata-kata yang salah dimengerti' yang isinya perbedaan sudut pandang si cewek dan si cowok
lia : Listening to a news broadcast is like smoking a cigarette and crushing the butt in the ashtray. Milan Kundera
lia : ah the girl from venus and the boy from mars - isme ya

anda : nggak
anda : hehehehheeheh
anda : i hate reading those stuffs
anda : well kinda like that, but in a more sophisticated way
lia : yes me too
lia : thank God in a more sophisticated way then
lia : waduh
lia : cinta segitiga ya en?
lia : http://www.imdb.com/title/tt0096332/plotsummary
lia : ada quotenya yang bagus nih en >> Tereza: I don't understand how someone can MAKE love without BEING in love.
lia : so let me get this straight : Tomas is in love with Tereza and have a just physical relationship with Sabina?
lia : heleh udah cari tau duluan gue
anda : uh sori barusan pipis
anda : pokoknya tomas tu paling gak bisa idup sama satu wanita doang
lia : haduhhhhhhh
lia : sakit hati!
anda : jadi dia pasti punya cewek2
anda : naaaa...tapi dia jatuh cinta sama tereza,yang akhirnya dikawinin
anda : tapi teteuuppp dia gak bisa gak selingkuh bok
lia : and the marriage works?
anda : na, filosofi 'lightness' of 'being' ini adalah pandangan si tomas terhadap cinta
anda : dan pandangan tereza akhirnya terhadap hidupnya yang begitu beraaaaatttt sama tomas
anda : the marriage works in a strange way
lia : duh jangan sampai terjadi ama gue
lia : (ngetok2 meja)
lia : gila loh yaaaaaaaa
-
-
© frettyaulia, 16.04.2008

April 16, 2008

"i like to love you"

Those just has been sticking in my head for days now. And maybe that's the reason of my smiles. Although maybe few questions fly back and forth, but somehow I can walk on with a much more hope than before. I hope this is not a false alarm - or anything of that sort.
© frettyaulia, 16.04.2008

April 2, 2008

semoga perih terbang tinggi diawan

siang rabu hari
setelah menikmati makan siang
mereka bertiga ngalor ngidul soal kematian - "we are going to die anyway"
tiba-tiba diruang dingin kantin terdengar lagu lama
tak usah kau tanya-tanya lagi
coba kau hayati peranmu
lupakan sekilas esok hari
semua telah terjadi
aku dan dirimu tenggelam dalam asa
dan tak ingin lari tanggalkan rasa ini
cobalah entaskan pastikan lepas atau terus
semoga perih terbang tinggi diawan
tak usah kau cari makna hadirnya diriku
aku disini untukmu
mungkin memberi arti cinta pada diriku
aku disini untukmu
lepaskan sejenak berat beban dipundakmu
aku disini untukmu
pastikan kau jawab semua ragu dicintamu
aku disini untukmu
ah tiba-tiba serasa ada yang menusuk dihati
sambil menarik nafas di sela ruang rokok mereka
ada rasa perih didalam dada
bersamaan dengan rasa hangat yang mengalir
©frettyaulia, 02.04.2008

April 1, 2008

the pregnancy test

This is a story of a young woman in her twenties. She's a closed friend of mine, so her name will be classified. From now on lets call her Ellen.

Ellen is a typical case of a young Asian woman, who strictly feels trapped in her family old rules and traditions. It is not that she hates them, or loves them less. She just finds it difficult to live with those rules. So most of the time she would have the courage to speak it out up to the length of a big argument. But lately she decides to keep it low. As she feels utterly tired to speak it out and knowing at the end that they find it hard to accept her views.

You can say Ellen is talented. Or smart maybe. She has the kind of brain that would stick to your face and say fuck when it needs to. She has the curiosity that can kill you. Because of the enormous questions she would ask you. She can slap you, hate you, and leave you in the dirt in a matter of five seconds when she feels threaten. But most of the time, she hides her pain from all, and reveals to the ones that care. Even if revealing it can means torture to the ones who care for her. Because of her passionate ways of looking to her own world. The closest you get to her, the more you can see holes and limitless questions. The closest you be with her, the more you can see the hopeless foolish lover who wants to love and be loved. The closest you hold her, the more you can feel that all she ever wants is to raise a family of her own. Or in what she could have said "to make a story of my own."

Ellen is in love. Or she loves. She is loving someone right at this minute. She continues to give it all to this one particular person. And I doubt that she would give up. I am sure she will always give it all. It is in her nature. Up to the point that some of her friends would tell her that she's stupid or cares less with her self. I am not sure if she's stupid or cares less. She's just like that.
Yesterday she went to see "Juno" from her boyfriend's DVD player. He was out for work; she was there because of her period that killed her. It reminded her of two weeks ago when she took herself the pregnancy test.

Yes it was a moment that she would not forget. The way her hands trembled, her heart felt like want to explode. And how burn her pee felt. She could not ever forget that. She was hoping for a plus sign. She was hoping for a double red cross on that stick. But no. Negative. It was zero. No pregnancy. No baby. She was hoping for a plus sign because of how actually really she wanted the baby.

Although it might be strange to everyone, but her boyfriend was exhilarated to know that she was late for almost over a week. Because one time she lied to him telling him that she already took the test and it was positive. He was laughing out loud over the phone when she called. I am not sure why she lied in the first place. I am guessing she doesn’t want him to feel that he is stuck by her. She wants him to pick her, to choose to be with her because of her. Not because of her carrying his baby. She doesn’t want to feel that she was a second to someone else. She needs not to be a rebound to get over someone. She wants to be the only one. It hurts her like hell if he were to be with her just because of the condition. It hurts me like hell seeing her like that.

So now she sits there on her desk, with a coffee cup boiling up that the smell of it fumes up her room. She does that gazing up to the file of papers beside her. She craves for love. Ah I don’t know. All I know it feels different with her after the pregnancy test. All I can feel there is a sense of loneliness inside of her.
Or maybe this is just my imagination? Or maybe I could be wrong? I don’t know. I just want her to feel safe and in comfort. Like she deserves to be.
© frettyaulia, 01.04.2008